Pertemuan psikodiagnostik 1 terakhir. Kali
ini kami membahas mengenai masalah etika dan isu mengenai penggunaan alat ukur.
Pembelajaran hari ini lebih mudah dipahami karena disampaikan oleh kelompok presentan
terbaik versi saya dan diterangkan ulang oleh Mas Seta.
Iya,
jadi setiap pertemuan pasti akan ada feedback yang diberikan Mas Seta kepada
kelompok presentan, biasanya setiap kelompok pasti mendapatkan revisian yang
lumayan banyak namun pada kelompok kali ini revisinya hanya terkait gambar. Bagi
saya itu sebuah hal yang amat baik karena sebagai kelompok penutup mereka
benar-benar belajar dari kelompok sebelumnya baik dari segi penyampaian maupun
isi materi dan referensi penggunaan buku. Ditambah, mereka mengerjakan
berminggu-minggu sebelum jadwal presentasi. They
deserve it.
Pembelajaran
kali ini, dimulai dengan membahas pedoman kode etik. Jadi, kalau di luar negeri
itu alat test memiliki level A, B, C dan setiap level memiliki ketentuan
masing-masing.
- Level A : Tes jenis ini dapat dipergunakan oleh
non psikolog yang memiliki rasa
tanggung jawab, seperti eksekutif business dan kepala sekolah.
- Level B : Umumnya mencakup sebagian besar tes
prestasi atau minat
individual atau kelompok, dan tes personal.
Contoh alat tes kategori ini adalah tes bakat
- Level C: Tes memerlukan gelar yang lebih
tinggi dalam psikologi atau lisensi dalam tes tertentu.
Terkait masalah kerahasiaan, individu berhak mengetahui hasil
dari tes yang telah mereka lakukan. Misalnya ketika tes seleksi, individu yang
diterima berhal meminta hasil tesnya. Namun, kalau individu tersebut tidak lulus
seleksi, ia tidak berhak atas hasil tes karena hasil tes tersebut hanya untuk
kepentingan seleksi saja.
Diberikannya feedback atau umpan balik adalah agar individu
mengetahui perkembangan dirinya, hal-hal apa saja yang baik dan perlu
ditingkatkan dalam dirinya. Cara memberitahu hasil tesnya, bisa dipanggil satu
persatu dan dijelaskan mengenai hasil tesnya seperti apa.
Dalam hukum, misalnya pada kasus-kasus di pengadilan yang
membutuhkan saksi berupa psikolog yang menangani klien, psikolog boleh
memberitahu hasil tes atau mengenai data-data terkait individu yang diadili
didepan khalayak umum guna memperjelas keadaan.
Ketika pergi ke toko buku atau di sosial media banyak akun
atau buku yang membahas mengenai tes psikologi padahal penulis atau yang
bertanggung jawab atas tes psikologi di sosmed atau buku tersebut bukan seorang
sarjana psikologi ataupun psikolog. Untuk membedakan mana yang tes psikologi
sesungguhnya dan yang bukan, caranya adalah dengan melihat validitas dan
reliabilitas tes tersebut. Pada tes psikologi pasti menyertakan angka validitas
dan reliabilitas sehingga tes tersebut dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya.
Ketika melakukan adaptasi alat tes, yang perlu dilakukan
adalah menerjemahkan alat tes tersebut dan menyesuaikan dengan keadaan,
kondisi, budaya dan lingkungan masing-masing, karena terkadang satu kata dalam
bahasa inggris memiliki makna yang berbeda jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.
Saat mengadakan serangkaian tes psikologi massal, secara administratif
biaya terbesarnya justru berasal dari operasional alat tes bukan dari harga
alat tes itu sendiri. karena ketika mengadakan tes, maka dibutuhkan cost untuk
scorer, konsumsi, sewa tempat, dsb. Untuk mengatasi itu semua, dapat dilakukan
tes psikologi secara online, namun saat ini belum banyak yang mengembangkan hal
tersebut. Semoga dimasa yang akan datang hal tersebut dapat terwujud.
Semoga bermanfaat J
1 komentar:
lucu banget ciaa blognya
Posting Komentar