Rabu, 08 Juni 2016

Masalah Etika dan Isu dalam Pemikiran American Counseling Association & American Psyhological Assosiation

Pertemuan psikodiagnostik 1 terakhir. Kali ini kami membahas mengenai masalah etika dan isu mengenai penggunaan alat ukur. Pembelajaran hari ini lebih mudah dipahami karena disampaikan oleh kelompok presentan terbaik versi saya dan diterangkan ulang oleh Mas Seta.

 Iya, jadi setiap pertemuan pasti akan ada feedback yang diberikan Mas Seta kepada kelompok presentan, biasanya setiap kelompok pasti mendapatkan revisian yang lumayan banyak namun pada kelompok kali ini revisinya hanya terkait gambar. Bagi saya itu sebuah hal yang amat baik karena sebagai kelompok penutup mereka benar-benar belajar dari kelompok sebelumnya baik dari segi penyampaian maupun isi materi dan referensi penggunaan buku. Ditambah, mereka mengerjakan berminggu-minggu sebelum jadwal presentasi. They deserve it.


                Pembelajaran kali ini, dimulai dengan membahas pedoman kode etik. Jadi, kalau di luar negeri itu alat test memiliki level A, B, C dan setiap level memiliki ketentuan masing-masing.

  1. Level A : Tes jenis ini dapat dipergunakan oleh non  psikolog yang memiliki rasa tanggung jawab, seperti eksekutif business dan kepala sekolah. 
  2. Level B : Umumnya mencakup sebagian besar tes prestasi atau minat 
                individual atau kelompok, dan tes personal.
                Contoh alat tes kategori ini adalah tes bakat
  1. Level C: Tes memerlukan gelar yang lebih tinggi dalam psikologi atau lisensi dalam tes tertentu.

Terkait masalah kerahasiaan, individu berhak mengetahui hasil dari tes yang telah mereka lakukan. Misalnya ketika tes seleksi, individu yang diterima berhal meminta hasil tesnya. Namun, kalau individu tersebut tidak lulus seleksi, ia tidak berhak atas hasil tes karena hasil tes tersebut hanya untuk kepentingan seleksi saja.

Diberikannya feedback atau umpan balik adalah agar individu mengetahui perkembangan dirinya, hal-hal apa saja yang baik dan perlu ditingkatkan dalam dirinya. Cara memberitahu hasil tesnya, bisa dipanggil satu persatu dan dijelaskan mengenai hasil tesnya seperti apa.

Dalam hukum, misalnya pada kasus-kasus di pengadilan yang membutuhkan saksi berupa psikolog yang menangani klien, psikolog boleh memberitahu hasil tes atau mengenai data-data terkait individu yang diadili didepan khalayak umum guna memperjelas keadaan.

Ketika pergi ke toko buku atau di sosial media banyak akun atau buku yang membahas mengenai tes psikologi padahal penulis atau yang bertanggung jawab atas tes psikologi di sosmed atau buku tersebut bukan seorang sarjana psikologi ataupun psikolog. Untuk membedakan mana yang tes psikologi sesungguhnya dan yang bukan, caranya adalah dengan melihat validitas dan reliabilitas tes tersebut. Pada tes psikologi pasti menyertakan angka validitas dan reliabilitas sehingga tes tersebut dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Ketika melakukan adaptasi alat tes, yang perlu dilakukan adalah menerjemahkan alat tes tersebut dan menyesuaikan dengan keadaan, kondisi, budaya dan lingkungan masing-masing, karena terkadang satu kata dalam bahasa inggris memiliki makna yang berbeda jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Saat mengadakan serangkaian tes psikologi massal, secara administratif biaya terbesarnya justru berasal dari operasional alat tes bukan dari harga alat tes itu sendiri. karena ketika mengadakan tes, maka dibutuhkan cost untuk scorer, konsumsi, sewa tempat, dsb. Untuk mengatasi itu semua, dapat dilakukan tes psikologi secara online, namun saat ini belum banyak yang mengembangkan hal tersebut. Semoga dimasa yang akan datang hal tersebut dapat terwujud.

Semoga bermanfaat J

1 komentar:

Keep the light on mengatakan...

lucu banget ciaa blognya